Petani memetik jagung hibrida Supra-1 pada panen perdana, Desa Klambir V, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (4/3). Antara/Irsan Mulyadi |
JAKARTA --
Pemerintah harus pemberdayaan petani jagung dalam negeri untuk mencukupi
kebutuhan bahan pakan ternak. Namun jika pemerintah ingin memberlakukan
pembatasan impor tentunya harus dibarengi dengan data produksi dalam negeri
yang akurat.
Pendapat
tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia
(Gappi) Anton J Supit menyikapi kebijakan pemerintahan dalam membatasi impor
terhadap produk jagung dan kedelai pakan ternak. Kebijakan yang telah dilakukan
sejak Agustus 2015 itu membuat konsumen merugi karena harga melambung tinggi.
"Puncaknya
terjadi pada saat dimulainya pembatasan impor. Harga jagung naik dari
sebelumnya Rp 3.000, menjadi Rp 7.000, per kilogramnnya," kata Anton.
Lebih jauh Anton
juga mengingatkan bahwa cara berpikir yang keliru kalau semangat anti-impor itu
dijadikan dogma yang bersifat dosa. ''Itu sudah tidak benar. Kalau negara lain
sudah berpikir seperti itu, lantas barang kita nanti mau dijual kemana?'' ujarnya
sambil mengingatkan pentingnya meningkatkan daya saing produk pertanian
Indonesia.
Lantas berkaitan
dengan peran Bulog yang sekarang ini diberi kewenangan mengendalikan keran
impor, Anton berharap pemerintah seharusnya bisa mengikuti aturan. Semestinya,
kata dia, kewenangan ekspor dan impor itu ada di bawah kendali Kementerian
Perdagangan. Sementara kementerian pertanian itu bertanggungjawab untuk membela
petani.
''Tentunya harus
ada koordinasi agar tidak ada overlapping. Oleh karena itulah, peranan menteri
koordinator menjadi penting (untuk mekanisme impor) karena di sini ada dua
kepentingan, konsumen dan petani,'' katanya.
Sumber:
No comments:
Post a Comment