Terjemahan
Friday, November 9, 2012
Inhutani Investasi Rp 2,5 Triliun Buka Kebun Sawit di Kalimantan
TEMPO.CO, Balikpapan - PT Inhutani (Perserto) segera membuka perkebunan kelapa sawit seluas 50 ribu hektare mulai 2013 hingga 2015 mendatang. Investasi perkebunan kelapa sawit senilai Rp 2,5 triliun nantinya akan dipusatkan di Kalimantan.
“Kami akan membuka kebun sawit seluas 50 ribu hektare. Investasi per hektarenya sebesar Rp 50 juta,” kata Direktur Utama Inhutani I, Didik Arjo Gunawan, saat di Balikpapan, Rabu, 26 September 2012.
Didik menilai Kalimantan punya potensi tinggi dalam pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Inhutani sudah menyiapkan aset lahan terbuka yang cocok untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Ia menambahkan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit ini, perusahaan akan menggandeng pihak swasta dalam pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit - crude palm oil (CPO). Kedua belah pihak akan bersepakat dalam teknis pembagian keuntungan industry CPO ini.
Didik mengatakan industri CPO tengah menjadi primadona dalam perdagangan dunia. Indonesia punya keunggulan lahan yang luas serta cocok dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit.
SG WIBISONO
sumber : http://www2.tempo.co/read/news/2012/09/26/090432049/Inhutani-Investasi-Rp-25-Triliun-Buka-Kebun-Sawit-di-Kalimantan
Keterlibatan Swasta di Sektor Pertanian Perlu Diwaspadai
TEMPO.CO, Jakarta
- Masuknya peran swasta di sektor pembangunan pertanian Indonesia perlu
diwaspadai. Peneliti senior Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pertanian, Effendi Pasandaran, mengatakan, saat ini peran
swasta semakin besar dalam bidang pertanian. Namun tidak semua
berorientasi pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras.
"Kalau dulu, swasta ikut dalam sektor pertanian, tapi dalam upaya mencapai swasembada. Sekarang produk pertanian yang dihasilkan swasta untuk dikuasai sendiri," kata Effendi dalam diskusi soal pangan di kantor LIPI, Jakarta, Kamis, 8 November 2012.
Effendi menambahkan, besarnya peranan swasta saat ini terutama dalam hal pengembangan teknologi pangan. Seperti produksi beras dan jagung jenis hibrida dan bioteknologi. "Produk-produk ini hanya sedikit yang berkaitan dengan kemandirian pangan dan kesejahteraan petani," katanya.
Selain itu, kekhawatiran yang mulai tampak adalah pengembangan teknologi pertanian oleh swasta tidak bisa diaplikasikan kembali oleh lembaga pengetahuan nasional. Akibatnya, pemerintah akan kesulitan memperbaiki dan meningkatkan produksi pangan melalui teknologi baru.
Menurut dia, masuknya swasta ke sektor pertanian perlu diantisipasi, terutama mengenai penguasaan lahan pertanian. Masalah lainnya, perusahaan swasta internasional sering kali mencoba menguasai lahan pertanian di negara-negara yang masih memiliki lahan luas.
"Gejala global kini soal land grabbing. Swasta internasional coba kuasai lahan besar di berbagai negara, seperti di Asia," kata Effendi.
Ia juga mengingatkan ancaman produksi nasional akibat perubahan iklim bisa menyebabkan krisis pangan. Ketahanan pangan nasional akan sangat ditentukan oleh pilihan kebijakan pemerintah yang antisipatif dan adaptif.
"Kadang kita suka menyalahkan faktor lain dalam menghadapi krisis pangan, seperti iklim," ujarnya. Padahal, krisis pangan terjadi akibat kebijakan yang salah dalam membangun sistem produksi pertanian.
Periset Litbang Pertanian, Sumarno, menambahkan, Indonesia perlu mengadopsi teknologi revolusi hijau. Adopsi teknologi untuk membantu pengembangan sektor pertanian itu seperti peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan produksi pangan.
"Teknologi revolusi hijau telah diterapkan di Asia, Amerika Latin, dan sebagian Afrika. Hasilnya, tercipta varietas unggul pada padi," katanya.
Ia menjelaskan, Indonesia rawan kekurangan pangan yang disebabkan beberapa faktor. Antara lain, tingkat konsumsi beras yang tinggi, prasarana irigasi yang rusak, dan konversi lahan pertanian.
"Perlu kesadaran masyarakat dan pentingnya keberlanjutan sistem produksi," kata dia.
ROSALINA
sumber : http://m.tempo.co/read/news/2012/11/08/090440507/Keterlibatan-Swasta-di-Sektor-Pertanian-Perlu-Diwaspadai
"Kalau dulu, swasta ikut dalam sektor pertanian, tapi dalam upaya mencapai swasembada. Sekarang produk pertanian yang dihasilkan swasta untuk dikuasai sendiri," kata Effendi dalam diskusi soal pangan di kantor LIPI, Jakarta, Kamis, 8 November 2012.
Effendi menambahkan, besarnya peranan swasta saat ini terutama dalam hal pengembangan teknologi pangan. Seperti produksi beras dan jagung jenis hibrida dan bioteknologi. "Produk-produk ini hanya sedikit yang berkaitan dengan kemandirian pangan dan kesejahteraan petani," katanya.
Selain itu, kekhawatiran yang mulai tampak adalah pengembangan teknologi pertanian oleh swasta tidak bisa diaplikasikan kembali oleh lembaga pengetahuan nasional. Akibatnya, pemerintah akan kesulitan memperbaiki dan meningkatkan produksi pangan melalui teknologi baru.
Menurut dia, masuknya swasta ke sektor pertanian perlu diantisipasi, terutama mengenai penguasaan lahan pertanian. Masalah lainnya, perusahaan swasta internasional sering kali mencoba menguasai lahan pertanian di negara-negara yang masih memiliki lahan luas.
"Gejala global kini soal land grabbing. Swasta internasional coba kuasai lahan besar di berbagai negara, seperti di Asia," kata Effendi.
Ia juga mengingatkan ancaman produksi nasional akibat perubahan iklim bisa menyebabkan krisis pangan. Ketahanan pangan nasional akan sangat ditentukan oleh pilihan kebijakan pemerintah yang antisipatif dan adaptif.
"Kadang kita suka menyalahkan faktor lain dalam menghadapi krisis pangan, seperti iklim," ujarnya. Padahal, krisis pangan terjadi akibat kebijakan yang salah dalam membangun sistem produksi pertanian.
Periset Litbang Pertanian, Sumarno, menambahkan, Indonesia perlu mengadopsi teknologi revolusi hijau. Adopsi teknologi untuk membantu pengembangan sektor pertanian itu seperti peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan produksi pangan.
"Teknologi revolusi hijau telah diterapkan di Asia, Amerika Latin, dan sebagian Afrika. Hasilnya, tercipta varietas unggul pada padi," katanya.
Ia menjelaskan, Indonesia rawan kekurangan pangan yang disebabkan beberapa faktor. Antara lain, tingkat konsumsi beras yang tinggi, prasarana irigasi yang rusak, dan konversi lahan pertanian.
"Perlu kesadaran masyarakat dan pentingnya keberlanjutan sistem produksi," kata dia.
ROSALINA
sumber : http://m.tempo.co/read/news/2012/11/08/090440507/Keterlibatan-Swasta-di-Sektor-Pertanian-Perlu-Diwaspadai
Ditjen Peternakan: Kesehatan Masyarakat Veteriner Butuh Pengawasan Ekstra
UNGARAN, suaramerdeka.com - Direktur Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan RI, Ahmad Junaidi menyebutkan, pelaksanaan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak dapat berjalan
optimal menyusul masih lemahnya pengawasan dalam hal penegakan hukum.
Selain itu, rendahnya tingkat kesadaran pelaku usaha peternakan juga
turut menyumbang masalah kesehatan verteriner.
"Hingga kami masih menemukan pelanggaran yang dilakukan masyarakat, terutama pelaku usaha peternakan. Untuk itu diperlukan pengawasan ekstra di lapangan," katanya, ketika ditemui di sela-sela acara Harmonisasi dan Sosialisasi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 di Kantor Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Jawa Tengah, Kamis (1/11).
Menurut dia, perusahaan peternakan skala besar cenderung bisa memahami ketentuan yang ada. Hanya saja, peternak skala kecil masih perlu diawasi dan dibina guna mengantisipasi pelanggaran.
"Selain pelanggaran kesehatan, hingga kini petugas masih menemui pemotongan sapi betina produktif meski dalam undang-undang yang ada jelas melarangnya. Berdasarkan data kami, pemotongan sapi betina produktif banyak terjadi di wilayah Sidoarjo, Jawa Timur serta Banten," ungkapnya.
Dipaparkan lebih lanjut, keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) nantinya dibuat agar Undang-undang yang ada dapat diimplementasikan sehingga tujuannya bisa tercapai sesuai harapan. Selain penerbitan PP, kedepan akan diterbitkan pula Peraturan Menteri dan Peraturan Presiden.
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa Tengah, Whitono menjelaskan, tahun depan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah berencana hendak mendorong penerbitan peraturan daerah tentang peternakan dan kesehatan hewan. Sebagai awalan, lanjut Whitono, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa Tengah telah melaksanakan sosialisasi peraturan yang ada dan memberi pembinaan kepada para peternak melalui kelompok ternak.
"Kesadaran dari pelaku dalam hal ini peternak lebih diharapkan dibandingkan harus melalui penegakan hukum di lapangan. Bila sudah berjalan, kami pun optimis angka pelanggaran termasuk diantaranya penjualan daging glonggongan dan ayam tiren bisa menurun," tandasnya.
( Ranin Agung / CN34 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/11/01/134336/Ditjen-Peternakan-Kesehatan-Masyarakat-Veteriner-Butuh-Pengawasan-Ekstra
"Hingga kami masih menemukan pelanggaran yang dilakukan masyarakat, terutama pelaku usaha peternakan. Untuk itu diperlukan pengawasan ekstra di lapangan," katanya, ketika ditemui di sela-sela acara Harmonisasi dan Sosialisasi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 di Kantor Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Jawa Tengah, Kamis (1/11).
Menurut dia, perusahaan peternakan skala besar cenderung bisa memahami ketentuan yang ada. Hanya saja, peternak skala kecil masih perlu diawasi dan dibina guna mengantisipasi pelanggaran.
"Selain pelanggaran kesehatan, hingga kini petugas masih menemui pemotongan sapi betina produktif meski dalam undang-undang yang ada jelas melarangnya. Berdasarkan data kami, pemotongan sapi betina produktif banyak terjadi di wilayah Sidoarjo, Jawa Timur serta Banten," ungkapnya.
Dipaparkan lebih lanjut, keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) nantinya dibuat agar Undang-undang yang ada dapat diimplementasikan sehingga tujuannya bisa tercapai sesuai harapan. Selain penerbitan PP, kedepan akan diterbitkan pula Peraturan Menteri dan Peraturan Presiden.
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa Tengah, Whitono menjelaskan, tahun depan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah berencana hendak mendorong penerbitan peraturan daerah tentang peternakan dan kesehatan hewan. Sebagai awalan, lanjut Whitono, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa Tengah telah melaksanakan sosialisasi peraturan yang ada dan memberi pembinaan kepada para peternak melalui kelompok ternak.
"Kesadaran dari pelaku dalam hal ini peternak lebih diharapkan dibandingkan harus melalui penegakan hukum di lapangan. Bila sudah berjalan, kami pun optimis angka pelanggaran termasuk diantaranya penjualan daging glonggongan dan ayam tiren bisa menurun," tandasnya.
( Ranin Agung / CN34 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/11/01/134336/Ditjen-Peternakan-Kesehatan-Masyarakat-Veteriner-Butuh-Pengawasan-Ekstra
Peternakan Sapi Indonesia Masih Kekurangan Lahan
YOGYAKARTA, suaramerdeka.com - Lahan pengembangan
usaha ternak sapi di Indonesia masih kurang. Peternakan yang
dilaksanakan saat ini umumnya hanya dibangun dalam lahan yang sangat
terbatas, padahal Indonesia memiliki lahan baik berupa hutan maupun
perkebunan yang cukup luas untuk bisa dijadikan sebagai lahan
peternakan.
"Kondisi dunia peternakan kita bisa dikatakan ironis. Bagaimana tidak untuk mengembangkan usaha peternakan saja tidak punya lahan," kata Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof Dr Ir Ali Agus DAA DEA di kampus setempat, dalam rangkaian acara
dies natalis Fakultas Peternakan UGM ke-43.
Disebutkan bahwa lahan seluas dua sampai tiga hektare idealnya digunakan untuk menggembalakan satu ekor sapi. Sementara di Indonesia sendiri hingga saat ini terdapat setidaknya 14 juta ekor sapi ternak. "Di Indonesia banyak areal yang bisa dijadikan sebagai lahan peternakan seperti hutan maupun areal pertanian," katanya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, dikatakan perlu adanya sinergi antara dinas peternakan dengan kementrian kehutanan maupun kementrian pertanian dalam pemanfaatan lahan. Dengan adanya sinergi antarlembaga terkait diharapkan dapat meningkatkan potensi usaha dunia peternakan Indonesia untuk mewujudkan swaembada pangan nasional.
Diperkirakan, upaya mewujudkan swasembada daging pada 2014 cukup berat. Meskipun pemerintah Indonesia mendorong pengembangan ternak sapi, upaya tersebut dirasa belum bisa mengejar pecapaian swasembada sapi. Pasalnya permintaan terhadap daging sapi masih tergolong tinggi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional yang mencapai 484 ribu ton setahun.
"Peternakan sapi Indonesia saat ini baru dapat memenuhi sekitar 60 persen kebutuhan daging nasional. Tahun 2009 kita masih harus impor sekitar 800 ribu ekor sapi dan di tahun 2011 sebanyak 300 ribu ekor sapi, itu belum termasuk dagingnya. Kebutuhan cukup tinggi tapi belum bisa memenuhi sendiri, padahal potensi lokal besar," paparnya.
( Bambang Unjianto / CN26 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/10/27/133842/Peternakan-Sapi-Indonesia-Masih-Kekurangan-Lahan
"Kondisi dunia peternakan kita bisa dikatakan ironis. Bagaimana tidak untuk mengembangkan usaha peternakan saja tidak punya lahan," kata Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof Dr Ir Ali Agus DAA DEA di kampus setempat, dalam rangkaian acara
dies natalis Fakultas Peternakan UGM ke-43.
Disebutkan bahwa lahan seluas dua sampai tiga hektare idealnya digunakan untuk menggembalakan satu ekor sapi. Sementara di Indonesia sendiri hingga saat ini terdapat setidaknya 14 juta ekor sapi ternak. "Di Indonesia banyak areal yang bisa dijadikan sebagai lahan peternakan seperti hutan maupun areal pertanian," katanya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, dikatakan perlu adanya sinergi antara dinas peternakan dengan kementrian kehutanan maupun kementrian pertanian dalam pemanfaatan lahan. Dengan adanya sinergi antarlembaga terkait diharapkan dapat meningkatkan potensi usaha dunia peternakan Indonesia untuk mewujudkan swaembada pangan nasional.
Diperkirakan, upaya mewujudkan swasembada daging pada 2014 cukup berat. Meskipun pemerintah Indonesia mendorong pengembangan ternak sapi, upaya tersebut dirasa belum bisa mengejar pecapaian swasembada sapi. Pasalnya permintaan terhadap daging sapi masih tergolong tinggi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional yang mencapai 484 ribu ton setahun.
"Peternakan sapi Indonesia saat ini baru dapat memenuhi sekitar 60 persen kebutuhan daging nasional. Tahun 2009 kita masih harus impor sekitar 800 ribu ekor sapi dan di tahun 2011 sebanyak 300 ribu ekor sapi, itu belum termasuk dagingnya. Kebutuhan cukup tinggi tapi belum bisa memenuhi sendiri, padahal potensi lokal besar," paparnya.
( Bambang Unjianto / CN26 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/10/27/133842/Peternakan-Sapi-Indonesia-Masih-Kekurangan-Lahan
Peternakan Indonesia Ikuti Irama Negara Maju
YOGYAKARTA, suaramerdeka.com - Direktur Pusat
Penelitian Biologi LIPI Dr Siti Nurmaliati menuturkan bahwa pembangunan
peternakan di Indonesia belum sepenuhnya didasarkan pada potensi dan
ketersediaan sumber daya lokal baik untuk genetik, pakan, maupun
teknologi.
Pembangunan yang dilakukan justru mengikuti irama atau keunggulan kompetitif yang dikembangkan negara-negara maju. Akibatnya ketergantungan peternak pada teknologi dan bahan-bahan input dari luar negeri terus meningkat.
"Pembangunan usaha dan industri peternakan Indonesia semestinya dibangun berdasarkan potensi, kekuatan, dan peluang yang tersedia sekaligus memperhatikan tantangan, ancaman, dan kelemahan yang ada," tandasnya dalam Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Peternakan Indonesia yang digelar di University Club UGM.
Disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman plasma nutfah ternak. Sayangnya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik. Padahal rumpun ternak asli Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibandingkan ternak impor.
Salah satunya adalah daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis dengan sifat reproduksi yang baik sebagai akibat seleksi alam yang alami.
Lebih lanjut dikatakan, agar peternakan di Indonesia lebih berdaya saing, dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik, serta menyejahterakan peternak di pedesaan, diperlukan upaya-upaya menyinergikan keunggulan komparatif dan inovasi lokal. Di samping itu pula mengkombinasikan dengan teknologi yang masuk ke Indonesia.
Direktur Perbibitan Ternak Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian RI Ir Abubakar SE MM mengatakan bahwa pihaknya saat ini tengah berusaha mendorong pelestarian sumberdaya genetik hewan atau bibit ternak asli Indonesia melalui pemuliaan plasma nutfah.
Usaha pembibitan tersebut disertai dengan adanya pengembangan sistem informasi, upaya pendidikan dan pelatihan, pembinaan kelembagaan, serta standarisasi produk peternakan. "Usaha pembibitan saat ini dilakukan untuk menghasilkan bibit unggul yang kuat, produktif, dan tentunya berdaya saing," tuturnya.
( Bambang Unjianto / CN26 / JBSM )
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/09/30/131368/Peternakan-Indonesia-Ikuti-Irama-Negara-Maju
Pembangunan yang dilakukan justru mengikuti irama atau keunggulan kompetitif yang dikembangkan negara-negara maju. Akibatnya ketergantungan peternak pada teknologi dan bahan-bahan input dari luar negeri terus meningkat.
"Pembangunan usaha dan industri peternakan Indonesia semestinya dibangun berdasarkan potensi, kekuatan, dan peluang yang tersedia sekaligus memperhatikan tantangan, ancaman, dan kelemahan yang ada," tandasnya dalam Forum Pimpinan Pendidikan Tinggi Peternakan Indonesia yang digelar di University Club UGM.
Disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman plasma nutfah ternak. Sayangnya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik. Padahal rumpun ternak asli Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibandingkan ternak impor.
Salah satunya adalah daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis dengan sifat reproduksi yang baik sebagai akibat seleksi alam yang alami.
Lebih lanjut dikatakan, agar peternakan di Indonesia lebih berdaya saing, dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik, serta menyejahterakan peternak di pedesaan, diperlukan upaya-upaya menyinergikan keunggulan komparatif dan inovasi lokal. Di samping itu pula mengkombinasikan dengan teknologi yang masuk ke Indonesia.
Direktur Perbibitan Ternak Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian RI Ir Abubakar SE MM mengatakan bahwa pihaknya saat ini tengah berusaha mendorong pelestarian sumberdaya genetik hewan atau bibit ternak asli Indonesia melalui pemuliaan plasma nutfah.
Usaha pembibitan tersebut disertai dengan adanya pengembangan sistem informasi, upaya pendidikan dan pelatihan, pembinaan kelembagaan, serta standarisasi produk peternakan. "Usaha pembibitan saat ini dilakukan untuk menghasilkan bibit unggul yang kuat, produktif, dan tentunya berdaya saing," tuturnya.
( Bambang Unjianto / CN26 / JBSM )
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/09/30/131368/Peternakan-Indonesia-Ikuti-Irama-Negara-Maju
Rp 200 Triliun Untuk Swasembada Beras
TEMPO.CO, Malang - Pemerintah
mengalokasikan dana Rp 200 triliun untuk program swasembada beras dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013. "Harapannya, di masa
mendatang kita bisa kembali menjadi pengekspor beras," kata Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, seusai acara pengukuhan
dirinya sebagai Ketua Dewan Penasihat Kontak Tani Nelayan Andalan di
Pendapa Pemerintah Kabupaten Malang, Rabu, 31 Oktober 2012.
TEMPO/Tony Hartawan |
Hatta mengatakan, anggaran tersebut digunakan untuk membangun dan memperbaiki irigasi, waduk, embung, dan infrastruktur jalan. Dana tersebut juga disalurkan untuk program pengembangan varietas bibit padi dengan produktivitas tinggi seperti Ciherang dan Cibogo yang dikembangkan di Kabupaten Malang.
"Dua padi ini menghasilkan 10 ton beras per hektare." katanya.
Untuk mendukung swasembada, Hatta memerintahkan Perum Bulog melakukan terobosan. Salah satunya dengan program On Farm Alternatif, bekerja sama dengan Gabungan Kelompok Tani Sampurna Malang. Dengan program ini Bulog terlibat langsung dalam proses penanaman dan pembelian gabah atau beras dari kelompok tani.
"Dengan program On Farm Alternatif, target produksi beras nasional bisa tercapai," ujarnya.
Tahun 2012, produksi beras nasional ditargetkan sebanyak 38 juta ton. Indonesia juga memiliki surplus 2 juta ton dari produksi 2011 yang mencapai 36 juta ton. Pemerintah menyiapkan cadangan beras melalui Bulog sebanyak 2 juta ton.
ABDI PURMONO
sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/10/31/090438915/Rp-200-Triliun-Untuk-Swasembada-Beras
Pertanian Organik Sebagai Pertanian yang Berkelanjutan*)
TEMPO.CO,
Mengamati perkembangan pangan dan komoditas pertanian akhir-akhir ini,
khususnya perkembangan dalam harganya yang dicirikan oleh tren yang
meningkat, yang merupakan kebalikan tren harga-harga komoditas pangan
dan pertanian selama kurang-lebih setengah abad terakhir abad ke-20,
sangatlah menarik. Apalagi kalau kita mengingat bahwa sebagian besar
rumah tangga di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, lebih
dari setengah pengeluaran pangannya dibelanjakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan mereka, tidak seperti pangsa pengeluaran pangan rumah
tangga di negara maju, yang proporsinya kurang dari 10 persen. Karena
itu, bukan hanya kita harus meningkatkan pendapatan rumah tangga secara
keseluruhan, tetapi yang lebih penting dan mendesak lagi adalah mencari
jalan atau cara untuk bisa menekan biaya produksi pertanian tanpa
mengorbankan produktivitasnya.
Kultur yang berkembang pada saat ini adalah kultur pertanian yang relatif mahal mengingat ketergantungannya pada input pertanian yang berkorelasi kuat dengan harga energi, khususnya minyak bumi, yang cenderung terus meningkat. Selain itu, ketergantungan pada pupuk yang disuplai secara eksternal dari luar sistem pertanian menghasilkan model pertanian yang tidak berkembang secara organik, yaitu membesar dan berkembang sebagai hasil kerja yang berproses di dalam tubuh pertanian, melainkan yang bergantung pada faktor eksternal. Lebih jauh lagi, pertanian Indonesia selama ini menggantungkan 100 persen kebutuhan unsur fosfat (P) dan potasium (K) melalui impor. Data menunjukkan bahwa nilai impor pupuk Indonesia meningkat dari US$ 564,3 juta pada 2006 menjadi US$ 1,4 miliar pada 2010 (BPS, 2011). Nilai impor tersebut jauh lebih besar daripada nilai ekspor pupuk Indonesia. BPS mencatat, misalnya, pada periode Januari hingga September 2011, nilai ekspor pupuk hanya mencapai US$ 351.48 juta.
Selain mahal, pertanian yang berbasis pada faktor eksternal di atas memberi banyak dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup, khususnya terhadap biodiversitas, polusi air, dan kontaminasi rantai ekosistem. Fenomena ini menggambarkan secara implisit bahwa pertanian Indonesia tidaklah memenuhi kriteria keberlanjutan, baik secara teknologi, ekonomi, maupun ekologi.
Pertanian organik dalam tulisan ini diartikan sebagai pertanian yang pertumbuhan dan perkembangannya lebih mengandalkan pada daya atau sifat intrinsik ekosistem alam yang berinteraksi dengan sistem sosial dan ekonomi sebagai faktor lingkungan yang diinternalisasi dalam proses ko-evolusi dari sistem pertanian tersebut. Kata organik analog dengan kata DNA atau gen yang mengatur pola hidup dan perkembangan suatu makhluk hidup dari dalam tubuh itu sendiri. Pertanian adalah sebagai makhluk atau sosok kehidupan itu sendiri. Tentu saja faktor lingkungan turut menentukan sifat dan sifat serta jenis, jumlah atau variasi hasil, serta hal lainnya yang menyatu dengan sistem pertanian organik tersebut secara keseluruhan.
Khudori (Koran Tempo, 30 Juli 2012), menggunakan data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, menyebutkan bahwa sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2 persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C-organik > 3 persen, kondisi itu sudah sangat kritis. Kondisi ini hanyalah satu ilustrasi bahwa sistem pertanian yang diterapkan selama ini menghasilkan output yang membahayakan keberlanjutan pertanian Indonesia, yang gejala kegagalannya sudah tampak sejak lama.
Kondisi yang disebutkan terakhir telah mendorong lahirnya kebijakan go organic. Sayang sekali, dalam pelaksanaannya, kebijakan ini banyak menghadapi permasalahan atau kendala. Saya berpendapat bahwa permasalahan utama dari program go organic ini bersumber dari kurang tepatnya pemahaman dan rancang bangun dari kebijakan yang diciptakan, yang akhirnya berdampak negatif terhadap implementasinya.
Pemahaman yang perlu dibangun sejak awal adalah bahwa pertanian organik adalah pertanian modern. Artinya, pertanian organik tidak sama dengan pertanian yang didasarkan semata-mata pada penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang, walaupun pupuk organik tersebut telah distandardisasi. Pertanian organik dilandasi oleh konsep reaksi kehidupan antara mikro organisme sebagai unsur organik dan lingkungannya, seperti tanah dan faktor cuaca dalam kaitannya dengan produksi tanaman, ikan, atau ternak pada suatu wilayah yang telah dirancang sebelumnya sebagai kawasan pertanian organik. Output dari sistem pertanian organik adalah hasil pertanian, baik berupa pangan, hortikultura, perikanan, maupun peternakan yang sebagian besar input-nya adalah unsur kehidupan (mikroorganisme) yang dibawa oleh beragam bahan organik yang telah diolah berdasarkan teknologi mutakhir yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Produk lainnya adalah energi yang dihasilkan dari pemanfaatan biomassa yang dikonversi menjadi biogas atau bentuk energi lainnya. Dengan skala sistem pertanian organik yang besar, misalnya 10 ribu hektare, produk energi ini akan mencapai skala bilangan megawatt. Keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan sosial yang berkembang pada suatu wilayah juga menjadi produk inherent dari sistem ini.
Konsep keterpaduan komoditas, wilayah, teknologi, dan sosial-ekonomi pada suatu wilayah dengan skala ekonomi yang memadai (misal, 10 ribu ha) yang diintegrasikan oleh suatu badan usaha, misalnya yang saya namakan Badan Usaha Milik Petani (BUMP), merupakan institusi operasionalisasi pertanian organik sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pertanian organik sebagaimana diuraikan adalah landasan bagi terwujudnya pertanian yang berkelanjutan.
*) Agus Pakpahan, Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
sumber : http://www.tempo.co/read/kolom/2012/08/08/630/Pertanian-Organik-Sebagai-Pertanian-yang-Berkelanjutan
Kultur yang berkembang pada saat ini adalah kultur pertanian yang relatif mahal mengingat ketergantungannya pada input pertanian yang berkorelasi kuat dengan harga energi, khususnya minyak bumi, yang cenderung terus meningkat. Selain itu, ketergantungan pada pupuk yang disuplai secara eksternal dari luar sistem pertanian menghasilkan model pertanian yang tidak berkembang secara organik, yaitu membesar dan berkembang sebagai hasil kerja yang berproses di dalam tubuh pertanian, melainkan yang bergantung pada faktor eksternal. Lebih jauh lagi, pertanian Indonesia selama ini menggantungkan 100 persen kebutuhan unsur fosfat (P) dan potasium (K) melalui impor. Data menunjukkan bahwa nilai impor pupuk Indonesia meningkat dari US$ 564,3 juta pada 2006 menjadi US$ 1,4 miliar pada 2010 (BPS, 2011). Nilai impor tersebut jauh lebih besar daripada nilai ekspor pupuk Indonesia. BPS mencatat, misalnya, pada periode Januari hingga September 2011, nilai ekspor pupuk hanya mencapai US$ 351.48 juta.
Selain mahal, pertanian yang berbasis pada faktor eksternal di atas memberi banyak dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup, khususnya terhadap biodiversitas, polusi air, dan kontaminasi rantai ekosistem. Fenomena ini menggambarkan secara implisit bahwa pertanian Indonesia tidaklah memenuhi kriteria keberlanjutan, baik secara teknologi, ekonomi, maupun ekologi.
Pertanian organik dalam tulisan ini diartikan sebagai pertanian yang pertumbuhan dan perkembangannya lebih mengandalkan pada daya atau sifat intrinsik ekosistem alam yang berinteraksi dengan sistem sosial dan ekonomi sebagai faktor lingkungan yang diinternalisasi dalam proses ko-evolusi dari sistem pertanian tersebut. Kata organik analog dengan kata DNA atau gen yang mengatur pola hidup dan perkembangan suatu makhluk hidup dari dalam tubuh itu sendiri. Pertanian adalah sebagai makhluk atau sosok kehidupan itu sendiri. Tentu saja faktor lingkungan turut menentukan sifat dan sifat serta jenis, jumlah atau variasi hasil, serta hal lainnya yang menyatu dengan sistem pertanian organik tersebut secara keseluruhan.
Khudori (Koran Tempo, 30 Juli 2012), menggunakan data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, menyebutkan bahwa sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2 persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C-organik > 3 persen, kondisi itu sudah sangat kritis. Kondisi ini hanyalah satu ilustrasi bahwa sistem pertanian yang diterapkan selama ini menghasilkan output yang membahayakan keberlanjutan pertanian Indonesia, yang gejala kegagalannya sudah tampak sejak lama.
Kondisi yang disebutkan terakhir telah mendorong lahirnya kebijakan go organic. Sayang sekali, dalam pelaksanaannya, kebijakan ini banyak menghadapi permasalahan atau kendala. Saya berpendapat bahwa permasalahan utama dari program go organic ini bersumber dari kurang tepatnya pemahaman dan rancang bangun dari kebijakan yang diciptakan, yang akhirnya berdampak negatif terhadap implementasinya.
Pemahaman yang perlu dibangun sejak awal adalah bahwa pertanian organik adalah pertanian modern. Artinya, pertanian organik tidak sama dengan pertanian yang didasarkan semata-mata pada penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang, walaupun pupuk organik tersebut telah distandardisasi. Pertanian organik dilandasi oleh konsep reaksi kehidupan antara mikro organisme sebagai unsur organik dan lingkungannya, seperti tanah dan faktor cuaca dalam kaitannya dengan produksi tanaman, ikan, atau ternak pada suatu wilayah yang telah dirancang sebelumnya sebagai kawasan pertanian organik. Output dari sistem pertanian organik adalah hasil pertanian, baik berupa pangan, hortikultura, perikanan, maupun peternakan yang sebagian besar input-nya adalah unsur kehidupan (mikroorganisme) yang dibawa oleh beragam bahan organik yang telah diolah berdasarkan teknologi mutakhir yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Produk lainnya adalah energi yang dihasilkan dari pemanfaatan biomassa yang dikonversi menjadi biogas atau bentuk energi lainnya. Dengan skala sistem pertanian organik yang besar, misalnya 10 ribu hektare, produk energi ini akan mencapai skala bilangan megawatt. Keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan sosial yang berkembang pada suatu wilayah juga menjadi produk inherent dari sistem ini.
Konsep keterpaduan komoditas, wilayah, teknologi, dan sosial-ekonomi pada suatu wilayah dengan skala ekonomi yang memadai (misal, 10 ribu ha) yang diintegrasikan oleh suatu badan usaha, misalnya yang saya namakan Badan Usaha Milik Petani (BUMP), merupakan institusi operasionalisasi pertanian organik sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pertanian organik sebagaimana diuraikan adalah landasan bagi terwujudnya pertanian yang berkelanjutan.
*) Agus Pakpahan, Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
sumber : http://www.tempo.co/read/kolom/2012/08/08/630/Pertanian-Organik-Sebagai-Pertanian-yang-Berkelanjutan
Jusuf Kalla: Jangan Andalkan Perluasan Sawah
TEMPO.CO, Jakarta
- Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menilai langkah pemerintah
yang terlalu mengandalkan penambahan lahan untuk sawah adalah keliru.
Sebab, lahan sawah baru justru membutuhkan waktu lebih lama untuk panen
karena harus menambah pengairan, membabat hutan baru, dan memindahkan
para transmigran.
"Menambah lahan sawah baru 100 ribu hektare belum tentu 10 tahun selesai. Swasembada bisa makin molor," kata Kalla dalam acara bedah buku Jurus Jitu Atasi Krisis, di gedung Bulog, Jakarta, Senin, 15 Oktober 2012.
Pemerintah, lanjutnya, hanya perlu meningkatkan produktivitas lahan sawah dari 5 ton per hektare menjadi 6-7 ton per hektare. Dengan peningkatan produktivitas ini, pemerintah tidak perlu investasi besar-besaran dan bisa dijalankan dalam jangka waktu satu tahun.
Peningkatan produktivitas lahan sawah ini, lanjutnya, tentu membutuhkan peran perguruan tinggi negeri dan swasta dalam pengembangan riset benih unggul. Produktivitas yang tinggi dianggap lebih mampu meningkatkan pendapatan petani ketimbang menambah lahan sawah baru.
"Kita masih ada ruang menaikkan produktivitas lahan sawah 40 persen menjadi 7 ton per hektare. Vietnam saja bisa 8 ton dan Cina 10 ton per hektare," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah mencanangkan program bernama Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K), yang bertujuan mendukung target surplus produksi beras sebesar 10 juta ton pada 2014. Dalam jangka pendek, juga akan dicetak sawah baru seluas 100 ribu hektare, yang terbagi atas 30 ribu hektare digarap oleh PT Pertani, 40 ribu hektare PT Syang Hyang Seri, dan 30 ribu hektare oleh Pusri.
Kalla menilai kebijakan BUMN menambah lahan sawah baru sama dengan ingin menyaingi petani. "Kalau menambah sawah berarti memiskinkan petani. Keliru kalau BUMN mau tambah sawah karena pendapatan petani akan turun," ujarnya.
ROSALINA
sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/10/15/090435743/Jusuf-Kalla-Jangan-Andalkan-Perluasan-Sawah
"Menambah lahan sawah baru 100 ribu hektare belum tentu 10 tahun selesai. Swasembada bisa makin molor," kata Kalla dalam acara bedah buku Jurus Jitu Atasi Krisis, di gedung Bulog, Jakarta, Senin, 15 Oktober 2012.
Pemerintah, lanjutnya, hanya perlu meningkatkan produktivitas lahan sawah dari 5 ton per hektare menjadi 6-7 ton per hektare. Dengan peningkatan produktivitas ini, pemerintah tidak perlu investasi besar-besaran dan bisa dijalankan dalam jangka waktu satu tahun.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. ANTARA/Dhoni Setiawan |
Peningkatan produktivitas lahan sawah ini, lanjutnya, tentu membutuhkan peran perguruan tinggi negeri dan swasta dalam pengembangan riset benih unggul. Produktivitas yang tinggi dianggap lebih mampu meningkatkan pendapatan petani ketimbang menambah lahan sawah baru.
"Kita masih ada ruang menaikkan produktivitas lahan sawah 40 persen menjadi 7 ton per hektare. Vietnam saja bisa 8 ton dan Cina 10 ton per hektare," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah mencanangkan program bernama Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K), yang bertujuan mendukung target surplus produksi beras sebesar 10 juta ton pada 2014. Dalam jangka pendek, juga akan dicetak sawah baru seluas 100 ribu hektare, yang terbagi atas 30 ribu hektare digarap oleh PT Pertani, 40 ribu hektare PT Syang Hyang Seri, dan 30 ribu hektare oleh Pusri.
Kalla menilai kebijakan BUMN menambah lahan sawah baru sama dengan ingin menyaingi petani. "Kalau menambah sawah berarti memiskinkan petani. Keliru kalau BUMN mau tambah sawah karena pendapatan petani akan turun," ujarnya.
ROSALINA
sumber : http://www.tempo.co/read/news/2012/10/15/090435743/Jusuf-Kalla-Jangan-Andalkan-Perluasan-Sawah
Program Sawit-Sapi Percepat PSDSK tahun 2014
YOGYAKARTA, suaramerdeka.com - Salah satu masalah
dalam pengembangan peternakan guna mendukung Percepatan Swasembada
Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014 adalah ketersediaan lahan.
Perkebunan kelapa sawit melalui sistem integrasi sapi dan kelapa sawit
menjadi potensi besar yang dapat dijadikan sebagai areal pengembangan
sapi.
''Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangat luas dan berpotensi diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak, terutama ternak sapi,'' papar Ir I Gede Suparta Budisatria MSc PhD di auditorium Fakultas Peternakan UGM pada seminar nasional ''Reformasi Konsep Program Integrasi Perkebunan-Peternakan''.
Beberapa perkebunan, katanya, telah menerapkan integrasi perkebunan-ternak dengan pola yang berbeda-beda. Beberapa perkebunan kelapa sawit saat inipun telah melakukan program integrasi sapi dan kelapa sawit dengan istilah SISKA (Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit). ''Berbagai kajian menunjukkan pelaksanaan SISKA mampu memberikan peningkatan produksi baik bagi perkebunan kelapa sawit maupun ternak sapi,'' ungkapnya.
Seminar ''Reformasi Konsep Program Integrasi Perkebunan-Peternakan'' merupakan seminar dalam rangka dies ke-43 Fakultas peternakan UGM sekaligus sebagai upaya mengevaluasi pelaksanaan integrasi yang sudah dilakukan dan berusaha mencari sistem integrasi yang tepat.
Seminar hasil kerjasama Fakultas Peternakan UGM dan Bank Rakyat Indonesia menghadirkan pembicara kunci Dr Agus Suherman perwakilan Kementerian BUMN untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan untuk Peternakan dan Perkebunan, Prof Dr Zaenal Bachruddin, Direktur utama PT Widodo Makmur Ir Tumiyo MBAY Bupati Wajo, para pengusaha sapi potong, akademisi, LSM dan mahasiswa.
Agus Suherman mengatakan, sesuai peraturan yang ada maka pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan untuk Peternakan dan Perkebunan (PKBL) merupakan kewajiban perusahaan. UU Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas mewajibkan setiap perusahaan untuk menjalankan program tanggungjawab sosial dan lingkungan.
Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof Dr Ir Ali Agus DAA DEA, capaian masyarakat Indonesia di bidang pangan masih menjadi persoalan besar. ''Kita berharap Fakultas Peternakan UGM bergerak cepat, melakukan sesuatu untuk perkembangan yang diinginkan. Terlebih tidak lama lagi tahun 2014/2015 telah memasuki pasar bebas Asia,'' katanya.
Program integrasi perkebunan sawit dan sapi sesungguhnya telah diancang sejak tahun 1989. Dengan program itu diharapkan mampu mendukung program swasembada daging tahun 2014 di Indonesia. ''Kita semua berharap dengan program ini mampu memberdayakan sumberdaya manusia, peternak lokal dan sumberdaya alam dengan mengutamakan 3T Terluar, Terdepan dan Tertinggal,'' tambahnya.
( Bambang Unjianto / CN34 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/11/09/134993/Program-Sawit-Sapi-Percepat-PSDSK-tahun-2014
''Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangat luas dan berpotensi diintegrasikan dengan pemeliharaan ternak, terutama ternak sapi,'' papar Ir I Gede Suparta Budisatria MSc PhD di auditorium Fakultas Peternakan UGM pada seminar nasional ''Reformasi Konsep Program Integrasi Perkebunan-Peternakan''.
Beberapa perkebunan, katanya, telah menerapkan integrasi perkebunan-ternak dengan pola yang berbeda-beda. Beberapa perkebunan kelapa sawit saat inipun telah melakukan program integrasi sapi dan kelapa sawit dengan istilah SISKA (Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit). ''Berbagai kajian menunjukkan pelaksanaan SISKA mampu memberikan peningkatan produksi baik bagi perkebunan kelapa sawit maupun ternak sapi,'' ungkapnya.
Seminar ''Reformasi Konsep Program Integrasi Perkebunan-Peternakan'' merupakan seminar dalam rangka dies ke-43 Fakultas peternakan UGM sekaligus sebagai upaya mengevaluasi pelaksanaan integrasi yang sudah dilakukan dan berusaha mencari sistem integrasi yang tepat.
Seminar hasil kerjasama Fakultas Peternakan UGM dan Bank Rakyat Indonesia menghadirkan pembicara kunci Dr Agus Suherman perwakilan Kementerian BUMN untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan untuk Peternakan dan Perkebunan, Prof Dr Zaenal Bachruddin, Direktur utama PT Widodo Makmur Ir Tumiyo MBAY Bupati Wajo, para pengusaha sapi potong, akademisi, LSM dan mahasiswa.
Agus Suherman mengatakan, sesuai peraturan yang ada maka pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan untuk Peternakan dan Perkebunan (PKBL) merupakan kewajiban perusahaan. UU Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas mewajibkan setiap perusahaan untuk menjalankan program tanggungjawab sosial dan lingkungan.
Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof Dr Ir Ali Agus DAA DEA, capaian masyarakat Indonesia di bidang pangan masih menjadi persoalan besar. ''Kita berharap Fakultas Peternakan UGM bergerak cepat, melakukan sesuatu untuk perkembangan yang diinginkan. Terlebih tidak lama lagi tahun 2014/2015 telah memasuki pasar bebas Asia,'' katanya.
Program integrasi perkebunan sawit dan sapi sesungguhnya telah diancang sejak tahun 1989. Dengan program itu diharapkan mampu mendukung program swasembada daging tahun 2014 di Indonesia. ''Kita semua berharap dengan program ini mampu memberdayakan sumberdaya manusia, peternak lokal dan sumberdaya alam dengan mengutamakan 3T Terluar, Terdepan dan Tertinggal,'' tambahnya.
( Bambang Unjianto / CN34 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/11/09/134993/Program-Sawit-Sapi-Percepat-PSDSK-tahun-2014
Ikan Impor Serbu Pekalongan
PEKALONGAN - Ikan impor berbagai jenis dalam beberapa bulan terakhir
ini mulai beredar di pasar tradisional di Kota Pekalongan. Ikan jenis
salem dari China itu merupakan jenis ikan yang paling banyak masuk.
Harganya terbilang lebih murah dibanding ikan lokal. Ikan impor itu
biasanya dikemas dalam dus berukuran 30 x 50 cm dan dibungkus plastik
berisi 90-100 ekor, dengan harga jual Rp 90 ribu per dus. Jika dibanding
harga ikan lokal Rp 105 per dus, berisi 25-30 ekor ikan layang.
Ikan impor itu biasanya digelar pagi hari, di depan pintu gerbang TPI Kota Pekalongan, dengan menggunakan truk box yang dilengkapi dengan mesin pendingin cool storage.
Menurut Arso (51), pedagang ikan segar, warga Kelurahan Panjang Baru RT 06 RW 11, Pekalongan Utara, ikan impor harganya lebih murah, sehingga peminat ikan impor semakin meningkat.
Bahkan hampir setiap hari, beberapa truk pemasok ikan impor, yang didatangkan dari Jakarta, selalu masuk dan membongkar muatan di sekitar TPI Kota Pekalongan. “Pasokan ikan impor dari China, setiap hari berlimpah, sehingga para produsen ikan pindang, selalu tidak kekurangan bahan baku. Bahkan jika pasokan ikan lokal menipis, maka ikan impor dapat memenuhi kebutuhan, bagi para pedagang ikan segar dan olahan,” kata Arso.
Salah satu pedagang ikan olahan, Rasidin (46), warga Desa Pekajangan, Kecamatan Buaran, mengaku selain membeli ikan lokal jenis layang, juga hampir setiap hari membeli ikan impor 8-11 dus untuk diolah menjadi ikan pindang, dan kemudian dipasarkan ke Pasar Wiradesa, Kabupaten Pekalongan.
Soal rasa, Rasidin mengaku sebenarnya ikan lokal lebih enak dibanding impor. Guna menyiasati dagangan, dirinya mencampur kedua ikan itu untuk jadi olahan. “Ikan lokal, setelah diolah rasanya lebih manis. Sedangkan ikan impor tidak begitu manis, makanya saya campur, karena bentuknya hampir sama dengan ikan lokal,” terangnya.(H63-90,47)
sumber : http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=204695
Ikan impor itu biasanya digelar pagi hari, di depan pintu gerbang TPI Kota Pekalongan, dengan menggunakan truk box yang dilengkapi dengan mesin pendingin cool storage.
Menurut Arso (51), pedagang ikan segar, warga Kelurahan Panjang Baru RT 06 RW 11, Pekalongan Utara, ikan impor harganya lebih murah, sehingga peminat ikan impor semakin meningkat.
Bahkan hampir setiap hari, beberapa truk pemasok ikan impor, yang didatangkan dari Jakarta, selalu masuk dan membongkar muatan di sekitar TPI Kota Pekalongan. “Pasokan ikan impor dari China, setiap hari berlimpah, sehingga para produsen ikan pindang, selalu tidak kekurangan bahan baku. Bahkan jika pasokan ikan lokal menipis, maka ikan impor dapat memenuhi kebutuhan, bagi para pedagang ikan segar dan olahan,” kata Arso.
Salah satu pedagang ikan olahan, Rasidin (46), warga Desa Pekajangan, Kecamatan Buaran, mengaku selain membeli ikan lokal jenis layang, juga hampir setiap hari membeli ikan impor 8-11 dus untuk diolah menjadi ikan pindang, dan kemudian dipasarkan ke Pasar Wiradesa, Kabupaten Pekalongan.
Soal rasa, Rasidin mengaku sebenarnya ikan lokal lebih enak dibanding impor. Guna menyiasati dagangan, dirinya mencampur kedua ikan itu untuk jadi olahan. “Ikan lokal, setelah diolah rasanya lebih manis. Sedangkan ikan impor tidak begitu manis, makanya saya campur, karena bentuknya hampir sama dengan ikan lokal,” terangnya.(H63-90,47)
sumber : http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=204695
17 Warga Sudan Pelajari Pengolahan Ikan di Pekalongan
PEKALONGAN, suaramerdeka.com - Sebanyak 17 orang
warga Sudan yang mempunyai usaha di bidang perikanan mengikuti pelatihan
dengan tema International Training Workshop on Quality Control and
Management on Fisheries Industries di Aula kawasan Pantai Wisata Bahari
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan (PPNP).
Pelatihan ini diselenggarakan atas kerja sama antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) Sudan. Pelatihan yang digelar pada 13 Oktober hingga 22 Oktober tersebut, bertujuan untuk meningkatkan peran Indonesia dalam Kerja sama Selatan-Selatan dan penguatan ketahanan pangan global.
Sebelum di Pekalongan, mereka mengikuti pelatihan di Tegal. “Ini merupakan program pertama dan peluang yang sangat bagus untuk meningkatkan hubungan bilateral Sudan-Indonesia,” kata Direktur Kerja sama Teknik Kementerian Luar Negeri, Siti Nugraha Mauludiah.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kelautan dan Perikanan, KKP, Syarief Wijaya menjelaskan, dalam pelatihan ini, warga Sudan akan mempelajari cara mengelola dan mengembangkan industri perikanan agar menjadi sektor yang dapat memberikan penghasilan untuk kesejahteraan masyarakat.
Menurut dia, Sudan memiliki potensi perikanan yang cukup besar, baik ikan air tawar maupun ikan laut. Namun, potensi kekayaan ikan yang cukup besar itu belum dikelola optimal untuk menjadi sumber penghasilan utama bagi masyarakat.
“Sudan dan Indonesia punya kesamaan. Melalui pelatihan ini, kami berharap Indonesia bisa membantu Sudan dalam mengembangkan industri perikanan. Dalam pelatihan ini akan dipelajari bagaimana kiat-kiat mengelola dan mengembangkan potensi perikanan agar bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, pelatihan tersebut juga untuk mempromosikan blue economy, yakni pengembangan ekonomi yang mengandalkan sumberdaya kelautan. Sementara itu, salah seorang peserta, Salaheldeen Habiballah menjelaskan, ada beberapa hal yang akan dipelajari selama mengikuti pelatihan di Indonesia.
Di antaranya tentang industri kapal, sistem pendingin, produk berkualitas baik dan sistem rantai dingin.
( Isnawati / CN26 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/10/21/133323/17-Warga-Sudan-Pelajari-Pengolahan-Ikan-di-Pekalongan
Pelatihan ini diselenggarakan atas kerja sama antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) Sudan. Pelatihan yang digelar pada 13 Oktober hingga 22 Oktober tersebut, bertujuan untuk meningkatkan peran Indonesia dalam Kerja sama Selatan-Selatan dan penguatan ketahanan pangan global.
Sebelum di Pekalongan, mereka mengikuti pelatihan di Tegal. “Ini merupakan program pertama dan peluang yang sangat bagus untuk meningkatkan hubungan bilateral Sudan-Indonesia,” kata Direktur Kerja sama Teknik Kementerian Luar Negeri, Siti Nugraha Mauludiah.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kelautan dan Perikanan, KKP, Syarief Wijaya menjelaskan, dalam pelatihan ini, warga Sudan akan mempelajari cara mengelola dan mengembangkan industri perikanan agar menjadi sektor yang dapat memberikan penghasilan untuk kesejahteraan masyarakat.
Menurut dia, Sudan memiliki potensi perikanan yang cukup besar, baik ikan air tawar maupun ikan laut. Namun, potensi kekayaan ikan yang cukup besar itu belum dikelola optimal untuk menjadi sumber penghasilan utama bagi masyarakat.
“Sudan dan Indonesia punya kesamaan. Melalui pelatihan ini, kami berharap Indonesia bisa membantu Sudan dalam mengembangkan industri perikanan. Dalam pelatihan ini akan dipelajari bagaimana kiat-kiat mengelola dan mengembangkan potensi perikanan agar bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, pelatihan tersebut juga untuk mempromosikan blue economy, yakni pengembangan ekonomi yang mengandalkan sumberdaya kelautan. Sementara itu, salah seorang peserta, Salaheldeen Habiballah menjelaskan, ada beberapa hal yang akan dipelajari selama mengikuti pelatihan di Indonesia.
Di antaranya tentang industri kapal, sistem pendingin, produk berkualitas baik dan sistem rantai dingin.
( Isnawati / CN26 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/10/21/133323/17-Warga-Sudan-Pelajari-Pengolahan-Ikan-di-Pekalongan
Lima Pelabuhan Ikan Tanpa Syahbandar
SEMARANG, suaramerdeka.com - Dari sembilan pelabuhan
perikanan di Jawa Tengah, baru empat yang telah dilengkapi syahbandar.
Hal ini menyebabkan ribuan nelayan di lima pelabuhan kesulitan mengurus
surat izin berlayar.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Agus Syaefudin menyebutkan, empat pelabuhan yang memiliki syahbdandar yakni Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Klidanglor Batang, PPP Wonokerto Pekalongan, PPP Asemdoyong Pemalang dan PPP Tegalsari Tegal.
Adapun lima yang belum ialah PPP Tasik Agung Rembang, PPPBajomulyo Pati, PPP Moro Demak, PPP Karimunjawa Jepara dan PPP Tawang Kendal "Untuk nelayan di pelabuhan yang tidak punya syahbandar ini menyulitkan, karena mereka harus mengurus di pelabuhan umum," katanya dalam diskusi "Wilayah Maritim Bagai Anak Yatim" di Hotel Quest, Senin (9/7).
Keberadaan syahbandar juga dinilai sangat penting. Bukan hanya menerbitkan surat izin berlayar, tetapi juga mengawasi aktifitas pelabuhan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. Selain itu beberapa fasilitas lain juga kurang sehingga pemanfaatkan pelabuhan perikanan tidak maksimal.
Pelabuhan seharusnya tak hanya digunakan untuk tempat labuh kapal, pendaratan ikan dan pemasaran. Tetapi juga untuk pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; serta pusat pertumbuhan ekonomi berbasis perikanan tangkap.
"Misalnya pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, pelayanan informasi dan iptek, bisnis perikanan dan jasa kelautan," jelasnya.
( Anton Sudibyo / CN26 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/07/09/123715/Lima-Pelabuhan-Ikan-Tanpa-Syahbandar
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Agus Syaefudin menyebutkan, empat pelabuhan yang memiliki syahbdandar yakni Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Klidanglor Batang, PPP Wonokerto Pekalongan, PPP Asemdoyong Pemalang dan PPP Tegalsari Tegal.
Adapun lima yang belum ialah PPP Tasik Agung Rembang, PPPBajomulyo Pati, PPP Moro Demak, PPP Karimunjawa Jepara dan PPP Tawang Kendal "Untuk nelayan di pelabuhan yang tidak punya syahbandar ini menyulitkan, karena mereka harus mengurus di pelabuhan umum," katanya dalam diskusi "Wilayah Maritim Bagai Anak Yatim" di Hotel Quest, Senin (9/7).
Keberadaan syahbandar juga dinilai sangat penting. Bukan hanya menerbitkan surat izin berlayar, tetapi juga mengawasi aktifitas pelabuhan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. Selain itu beberapa fasilitas lain juga kurang sehingga pemanfaatkan pelabuhan perikanan tidak maksimal.
Pelabuhan seharusnya tak hanya digunakan untuk tempat labuh kapal, pendaratan ikan dan pemasaran. Tetapi juga untuk pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; serta pusat pertumbuhan ekonomi berbasis perikanan tangkap.
"Misalnya pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, pelayanan informasi dan iptek, bisnis perikanan dan jasa kelautan," jelasnya.
( Anton Sudibyo / CN26 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/07/09/123715/Lima-Pelabuhan-Ikan-Tanpa-Syahbandar
Redfish Undip Klasifikasikan Sampah
SEMARANG, suaramerdeka.com - Sabtu (3/11), anggota
Redfish Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip mendatangi lokasi
obyek wisata Pantai Maron Semarang. Bukan acara liburan, melainkan
bergotong royong membersihkan sampah yang berserakan di bibir pantai.
Sampah nampak menggunung, lantaran pada Jumat (2/11) malam, Kota Semarang diguyur hujan lebat. Air hujan membawa sampah dari pemukiman menuju laut dan kembali terdampar di bibir pantai oleh ombak.
Tim yang terdiri dari 20 mahasiswa Undip ini bukan sekedar membersihkan sampah. "Dibagi menjadi dua tim. Dan hanya mengambil sampah anorganik saja," kata Bonifacius Arbanto selaku Pelatih dan Instruktur Selam Redfish.
Bukannya tanpa tujuan. Nantinya sampah-sampah anorganik akan diklasifikasikan lagi berdasarkan jenis dan bentuknya. Hal ini dinamakan metode ocean coastal clean up.
Sampah-sampah yang diambil diantaranya berupa kaleng, sedotan, mainan, balon, kain atau bungkus rokok. Tujuannya untuk mengetahui sumber-sumber sampah tersebut, dan ini sudah dilakukan di dunia internasional selama sepuluh tahun terakhir
"Semuanya akan kami data. Hal ini akan rutin dilakukan. Setelah di Maron, kami akan ke Pantai Tulamben Bali. Data-data ini akan dikumpulkan dan semoga hasilnya bisa memberikan masukan pada pemerintah," ujar Bonifacius.
Kegiatan yang dilakukan dalam rangka ulang tahun Redfish ke-2 tersebut dilengkapi dengan penanaman 250 mangrove di sekitar pantai. Tujuannya ikut menyelamatkan bibir pantai dari abrasi. Terlebih lagi, Pantai Maron adalah salah satu obyek wisata yang dimiliki oleh Kota Semarang dan harus dijaga bersama-sama.
Redfish sendiri merupakan Unit Kegiatan Kemahasiswaan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip. Unit ini fokus dalam kegiatan penelitian, selam, dan perikanan. Beberapa kegiatan sebelumnya berupa penelitian karang, ikan, dan mangrove.
( Hanung Soekendro / CN33 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/11/03/134504/Redfish-Undip-Klasifikasikan-Sampah
Sampah nampak menggunung, lantaran pada Jumat (2/11) malam, Kota Semarang diguyur hujan lebat. Air hujan membawa sampah dari pemukiman menuju laut dan kembali terdampar di bibir pantai oleh ombak.
Tim yang terdiri dari 20 mahasiswa Undip ini bukan sekedar membersihkan sampah. "Dibagi menjadi dua tim. Dan hanya mengambil sampah anorganik saja," kata Bonifacius Arbanto selaku Pelatih dan Instruktur Selam Redfish.
SAMPAH: Anggota Redfish tengah mengambil sampah-sampah anorganik di bibir Pantai Maron, Sabtu (3/11). (suaramerdeka.com/ Hanung Soekendro) |
Bukannya tanpa tujuan. Nantinya sampah-sampah anorganik akan diklasifikasikan lagi berdasarkan jenis dan bentuknya. Hal ini dinamakan metode ocean coastal clean up.
Sampah-sampah yang diambil diantaranya berupa kaleng, sedotan, mainan, balon, kain atau bungkus rokok. Tujuannya untuk mengetahui sumber-sumber sampah tersebut, dan ini sudah dilakukan di dunia internasional selama sepuluh tahun terakhir
"Semuanya akan kami data. Hal ini akan rutin dilakukan. Setelah di Maron, kami akan ke Pantai Tulamben Bali. Data-data ini akan dikumpulkan dan semoga hasilnya bisa memberikan masukan pada pemerintah," ujar Bonifacius.
Kegiatan yang dilakukan dalam rangka ulang tahun Redfish ke-2 tersebut dilengkapi dengan penanaman 250 mangrove di sekitar pantai. Tujuannya ikut menyelamatkan bibir pantai dari abrasi. Terlebih lagi, Pantai Maron adalah salah satu obyek wisata yang dimiliki oleh Kota Semarang dan harus dijaga bersama-sama.
Redfish sendiri merupakan Unit Kegiatan Kemahasiswaan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip. Unit ini fokus dalam kegiatan penelitian, selam, dan perikanan. Beberapa kegiatan sebelumnya berupa penelitian karang, ikan, dan mangrove.
( Hanung Soekendro / CN33 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/11/03/134504/Redfish-Undip-Klasifikasikan-Sampah
Lahan Pertanian di Sleman Menyusut 70 Hektare per Tahun
SLEMAN, suaramerdeka.com - Ketahanan pangan di
Kabupaten Sleman terancam masalah ketersediaan lahan. Pasalnya, tiap
tahun sekitar 70 hektare lahan pertanian beralih fungsi.
"Pengendalian lahan pertanian harus terus diupayakan. Sleman adalah lumbung pangannya DIY, jika lahan terus menyusut produksi pangan akan terancam," kata Wakil Bupati, Yuni Satia Rahayu, Rabu (7/11).
Disamping penyusutan lahan, minimnya rasa kemandirian produsen lokal juga menjadi kendala. Imbasnya, konsumen selalu bergantung pada produk pangan dari luar.
"Sebenarnya kita bisa menjadi produsen yang tidak hanya sebagai penerima harga, tapi turut menentukan harga. Namun untuk mencapai itu, perlu diikuti jalinan kemitraan yang kuat," ujarnya.
Upaya kemitraan itu dapat berupa relasi antar keluarga, asosiasi maupun lembaga usaha. Selain mewujudkan kemandirian pangan, langkah jejaring juga mampu mendorong penciptaan produk yang berkualitas. Pada akhirnya bukan cuma kemandirian yang diraih, namun produk lokal juga akan mampu bersaing di pasar regional bahkan global.
( Amelia Hapsari / CN31 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/11/07/134799/Lahan-Pertanian-di-Sleman-Menyusut-70-Hektare-per-Tahun
"Pengendalian lahan pertanian harus terus diupayakan. Sleman adalah lumbung pangannya DIY, jika lahan terus menyusut produksi pangan akan terancam," kata Wakil Bupati, Yuni Satia Rahayu, Rabu (7/11).
Disamping penyusutan lahan, minimnya rasa kemandirian produsen lokal juga menjadi kendala. Imbasnya, konsumen selalu bergantung pada produk pangan dari luar.
"Sebenarnya kita bisa menjadi produsen yang tidak hanya sebagai penerima harga, tapi turut menentukan harga. Namun untuk mencapai itu, perlu diikuti jalinan kemitraan yang kuat," ujarnya.
Upaya kemitraan itu dapat berupa relasi antar keluarga, asosiasi maupun lembaga usaha. Selain mewujudkan kemandirian pangan, langkah jejaring juga mampu mendorong penciptaan produk yang berkualitas. Pada akhirnya bukan cuma kemandirian yang diraih, namun produk lokal juga akan mampu bersaing di pasar regional bahkan global.
( Amelia Hapsari / CN31 / JBSM )
sumber : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/11/07/134799/Lahan-Pertanian-di-Sleman-Menyusut-70-Hektare-per-Tahun
Subscribe to:
Posts (Atom)