TEMPO.CO,
Mengamati perkembangan pangan dan komoditas pertanian akhir-akhir ini,
khususnya perkembangan dalam harganya yang dicirikan oleh tren yang
meningkat, yang merupakan kebalikan tren harga-harga komoditas pangan
dan pertanian selama kurang-lebih setengah abad terakhir abad ke-20,
sangatlah menarik. Apalagi kalau kita mengingat bahwa sebagian besar
rumah tangga di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, lebih
dari setengah pengeluaran pangannya dibelanjakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan mereka, tidak seperti pangsa pengeluaran pangan rumah
tangga di negara maju, yang proporsinya kurang dari 10 persen. Karena
itu, bukan hanya kita harus meningkatkan pendapatan rumah tangga secara
keseluruhan, tetapi yang lebih penting dan mendesak lagi adalah mencari
jalan atau cara untuk bisa menekan biaya produksi pertanian tanpa
mengorbankan produktivitasnya.
Kultur yang berkembang pada saat
ini adalah kultur pertanian yang relatif mahal mengingat
ketergantungannya pada input pertanian yang berkorelasi kuat dengan
harga energi, khususnya minyak bumi, yang cenderung terus meningkat.
Selain itu, ketergantungan pada pupuk yang disuplai secara eksternal
dari luar sistem pertanian menghasilkan model pertanian yang tidak
berkembang secara organik, yaitu membesar dan berkembang sebagai hasil
kerja yang berproses di dalam tubuh pertanian, melainkan yang bergantung
pada faktor eksternal. Lebih jauh lagi, pertanian Indonesia selama ini
menggantungkan 100 persen kebutuhan unsur fosfat (P) dan potasium (K)
melalui impor. Data menunjukkan bahwa nilai impor pupuk Indonesia
meningkat dari US$ 564,3 juta pada 2006 menjadi US$ 1,4 miliar pada 2010
(BPS, 2011). Nilai impor tersebut jauh lebih besar daripada nilai
ekspor pupuk Indonesia. BPS mencatat, misalnya, pada periode Januari
hingga September 2011, nilai ekspor pupuk hanya mencapai US$ 351.48
juta.
Selain mahal, pertanian yang berbasis pada faktor
eksternal di atas memberi banyak dampak negatif terhadap kualitas
lingkungan hidup, khususnya terhadap biodiversitas, polusi air, dan
kontaminasi rantai ekosistem. Fenomena ini menggambarkan secara implisit
bahwa pertanian Indonesia tidaklah memenuhi kriteria keberlanjutan,
baik secara teknologi, ekonomi, maupun ekologi.
Pertanian organik
dalam tulisan ini diartikan sebagai pertanian yang pertumbuhan dan
perkembangannya lebih mengandalkan pada daya atau sifat intrinsik
ekosistem alam yang berinteraksi dengan sistem sosial dan ekonomi
sebagai faktor lingkungan yang diinternalisasi dalam proses ko-evolusi
dari sistem pertanian tersebut. Kata organik analog dengan kata DNA atau
gen yang mengatur pola hidup dan perkembangan suatu makhluk hidup dari
dalam tubuh itu sendiri. Pertanian adalah sebagai makhluk atau sosok
kehidupan itu sendiri. Tentu saja faktor lingkungan turut menentukan
sifat dan sifat serta jenis, jumlah atau variasi hasil, serta hal
lainnya yang menyatu dengan sistem pertanian organik tersebut secara
keseluruhan.
Khudori (Koran Tempo, 30 Juli 2012), menggunakan
data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, menyebutkan bahwa
sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta hektare) memiliki
kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2
persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan
4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah
dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai
lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan
sawah sehat yang memiliki kandungan C-organik > 3 persen, kondisi itu
sudah sangat kritis. Kondisi ini hanyalah satu ilustrasi bahwa sistem
pertanian yang diterapkan selama ini menghasilkan output yang membahayakan keberlanjutan pertanian Indonesia, yang gejala kegagalannya sudah tampak sejak lama.
Kondisi yang disebutkan terakhir telah mendorong lahirnya kebijakan go organic.
Sayang sekali, dalam pelaksanaannya, kebijakan ini banyak menghadapi
permasalahan atau kendala. Saya berpendapat bahwa permasalahan utama
dari program go organic ini bersumber dari kurang tepatnya
pemahaman dan rancang bangun dari kebijakan yang diciptakan, yang
akhirnya berdampak negatif terhadap implementasinya.
Pemahaman
yang perlu dibangun sejak awal adalah bahwa pertanian organik adalah
pertanian modern. Artinya, pertanian organik tidak sama dengan pertanian
yang didasarkan semata-mata pada penggunaan pupuk organik atau pupuk
kandang, walaupun pupuk organik tersebut telah distandardisasi.
Pertanian organik dilandasi oleh konsep reaksi kehidupan antara mikro
organisme sebagai unsur organik dan lingkungannya, seperti tanah dan
faktor cuaca dalam kaitannya dengan produksi tanaman, ikan, atau ternak
pada suatu wilayah yang telah dirancang sebelumnya sebagai kawasan
pertanian organik. Output dari sistem pertanian organik adalah
hasil pertanian, baik berupa pangan, hortikultura, perikanan, maupun
peternakan yang sebagian besar input-nya adalah unsur kehidupan
(mikroorganisme) yang dibawa oleh beragam bahan organik yang telah
diolah berdasarkan teknologi mutakhir yang hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Produk lainnya adalah energi yang
dihasilkan dari pemanfaatan biomassa yang dikonversi menjadi biogas atau
bentuk energi lainnya. Dengan skala sistem pertanian organik yang
besar, misalnya 10 ribu hektare, produk energi ini akan mencapai skala
bilangan megawatt. Keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan sosial
yang berkembang pada suatu wilayah juga menjadi produk inherent dari sistem ini.
Konsep
keterpaduan komoditas, wilayah, teknologi, dan sosial-ekonomi pada
suatu wilayah dengan skala ekonomi yang memadai (misal, 10 ribu ha) yang
diintegrasikan oleh suatu badan usaha, misalnya yang saya namakan Badan
Usaha Milik Petani (BUMP), merupakan institusi operasionalisasi
pertanian organik sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini. Karena itu,
dapat dikatakan bahwa pertanian organik sebagaimana diuraikan adalah
landasan bagi terwujudnya pertanian yang berkelanjutan.
*) Agus Pakpahan, Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
sumber : http://www.tempo.co/read/kolom/2012/08/08/630/Pertanian-Organik-Sebagai-Pertanian-yang-Berkelanjutan
No comments:
Post a Comment